Sebait syair lagu dari Iwan Fals mengakhiri petikan gitar pengamen berambut gondrong yang selalu aku temui dalam bus ini. Lagunya itu-itu saja dan tampaknya ia adalah satu diantara jutaan fans Iwan Fals. Koin terakhir dari penumpang yang diterima lewat topi lusuhnya menandai bus ini akan segera berangkat. Penumpang lega setelah menunggu sekitar dua jam dari jadwal yang dijanjikan calo bus ini.
Bus ekonomi bertarif Rp. 35.000 untuk tujuan Jakarta, mulai melaju dari Yomani, sebuah pangkalan bus antar kota di selatan kota Slawi. Semua kursi terisi penuh. Sopir dan kondektur tampak puas. Enam puluh penumpang, dan artinya pendapatan kru bus ini cukup baik malam itu. Aku duduk di kursi tiga deret. Terjepit oleh dua penumpang yang tidak berhenti merokok. Sepanjang kota Tegal, bus ini masih menaikkan sekurangya tiga penumpang yang didudukkan di kursi kondektur dan kursi cadangan dekat sopir. Musik diputar keras-keras, lagu dangdut cirebonan bersaing dengan deru mesin bus. Penumpang tampak puas. Penumpang disamping kiriku ikut bernyanyi seturut lagu-lagu yang syairnya melulu soal kawin cerai dan perselingkuhan. Kakinya tidak henti menghentak lantai bus.
Kang kebeneran, aduh kaberan
Kula e masih angetan
Olih sewulan, luwih sedina
Kang kula nembe pisahan
Apa sih bener, sampean seneng
Kang naksir ning diri kula
Eh lamon bener, sing penting sayang
Wis pasti kula nerima
Penumpang disamping kananku memulai obrolan, bertanya hendak kemana dan bekerja dimana. Pertanyaan standar yang akan berujung pada pertanyaan pamungkas: ada lowongan?. Ia masih muda sekira dua puluhan tahun usianya, mengaku bekerja sebagai penjual nasi goreng dikawasan Kebagusan, Jakarta Selatan. Liburan seminggu di kampungnya, Tembongwah, harus berakhir mengingat ia harus kembali berdagang buat membayar uang sewa lahan buat gerobaknya. “250 ribu sebulan” ujarnya. Sudah setahun ia berdagang, mengikuti tradisi masyarakat di kampungnya yang mayoritas merantau ke Jakarta. Berjualan mulai dari nasi goreng, martabak dan gorengan. Ia mengaku beruntung punya pangkalan yang dikelola secara aplusan dengan kakaknya.
“Cukup lumayan lakunya, tapi aku masih tetep ingin jadi pegawai”. Ia mengaku tidak mampu mengelola pendapatanya. Karena berdagang, kapan saja ia dapat uang dan karena itu membuatnya boros. Dengan menjadi pegawai ia berandai-andai bisa berhemat karena uang hanya bisa diperoleh sebulan sekali lewat gaji. Sebuah pemikiran yang ganjil. Rupanya para perencana keuangan perlu menyasar orang-orang seperti ini yang tidak tahu bagaimana mengelola uang. “Uangnya habis buat jalan-jalan”, akunya. Ia minta dicarikan pekerjaan apa saja. Mengaku hanya lulus SMA, menjadi satpam dirasanya ideal.
Jam terus bergerak. Penumpang disebelah kiriku lelap. Si penjual nasi goreng sibuk bercakap dengan pacarnya lewat loudspeaker handphone karena suara musik mengalahkan semuanya. Kali ini lagu-lagunya Rhoma Irama. Sesekali ia membuka situs facebook lewat handphone buatan Cina. Malam melarut, bus memasuki warung makan di daerah Subang.
Ada puluhan bus Dewi Sri yang terparkir di warung makan ini. ribuan orang setiap harinya memanfaatkan bus ini untuk pergi dan pulang dari Jakarta menuju kota-kota yang dilayaninya: Tegal, Pemalang, Pekalongan dan Purwokerto. Mayoritas dari mereka bekerja di sektor informal.
Pergerakan manusia ini telah menggerakan semua sektor di sepanjang pantura. Ribuan keluarga hidup dari pergerakan urbanisasi ini. Dalam bus ini saja mulai dari awak bus, pengamen, pengasong dan peminta sumbangan menggantungkan hidup. Tak terkecuali warung makan ini. Konon kabarnya dari uang toilet saja, warung ini bisa meraup tiga juta rupiah dalam sehari. Jumlah yang masuk akal mengingat menyemutnya manusia pada saat jam bus istirahat. Apalagi ada dua kelas toilet di warung ini: ekonomi bertarif seribu dan VIP bertarif dua ribu rupiah. Harga makanan diwarung ini mahal, tidak banyak penumpang yang makan di sini. Banyak trik yang dilakukan pengelola buat menarik pembeli. Misalnya ada deretan warung makan disekitar warung utama yang menjual makanan ala kadarnya. Biasanya para penumpang makan disini meskipun harganya tetap tinggi. Tipuan psikologi konsumen yang berhasil. Sebungkus pop mie misalnya dihargai enam ribu rupiah. Tampaknya ini makanan termurah disini. Untuk mengesankan murah lihatlah tulisan yang terpampang di tembok warung ini. Jumawa sekaligus menggelikan: Atas amanah ibu pimpinan warung (aku lupa namanya) ditetapkan harga popmie adalah 6000 rupiah. Bila ada pelanggan yang membeli diatas harga itu uang akan dikembalikan dan popmie diberikan secara gratis!.
Saat kampanye pemilihan walikota Tegal, warung ini penuh dengan poster sang pemilik bus Dewi Sri yang hendak maju sebagai calon berkampanye. Tampaknya berhasil. Sang pemilik Bus sekarang menjadi wali kota Tegal. Pengelola bus ini bisa membangun ikatan emosional dengan pelanggannya. Bisa dipastikan mereka tidak akan beralih armada dan mungkin ini yang jadi salah satu kunci kemenangan sang walikota selain tentunya pendapatan besar dari bisnis ini yang memungkinkan ia ikut pemilihan.
Dari googling dibeberapa situs, jumlah penduduk Indonesia sekitar 259 juta tahun ini. Pertumbuhan penduduk Indonesia mencapai 1,5 persen, artinya ada sekitar 4,5 juta bayi yang lahir setiap tahunnya. Dengan penyebaran penduduk dan pembangunan yang terpusat di kota, pada tahun 2025 sebanyak 195 juta jiwa atau setara 65 persen penduduk akan tinggal di kota. Secara kasat mata jumlah arus manusia yang aku lihat tiap kali pulang kampung terus meningkat. Jumlah ini sempat menurun saat terjadi krisis ekonomi sekitar tahun 1997-1998. Bus-bus sepi penumpang. Konon dari Jawa Tengah saja sekitar empat juta warganya merantau ke Jakarta.
Dengarlah pengakuan gadis belia yang duduk disampingku setelah bertukar bus dengan penumpang sebelumnya yang hendak turun di pulogadung. Ia mengaku lulusan SMP dan bekerja di sebuah warung tegal di daerah Depok. Bersama serombongan remaja seusianya ia harus meninggalkan kampung halamannya karena tidak ada apapun yang bisa dikerjakan disana meskipun ia mengaku lebih senang tinggal di kampungnya. Bekerja di warteg memungkinkannya mendapat penghasilan sebesar 400 ribu rupiah sebulan.
Kota semakin sesak, hidup semakin tidak berkualitas.
Memasuki penggal terakhir kota Subang, deretan rumah karaoke sudah sepi. Hanya beberapa yang masih buka. Beberapa gadis belia dengan dandanan seksi duduk di sofa di depan rumah karoeke itu menungu pelanggan. Seorang gadis tampak cuma bercelana pendek dan kaus tanktop di pagi buta yang gerimis, duduk menggelosor di sofa sambil bermain handphone. Sebuah truk dan sedan terparkir di satu rumah karaoke yang pintunya bergambar sebuah botol bir besar yang entah apa mereknya. Bisnis masih berlangsung di pagi buta itu.
Suara Ebiet G. Ade mengantar bus ini memasuki tol Cikampek. Jam menunjuk angka tiga pagi. Belasan lagu Ebiet telah berlalu. Sepasang suami istri dan anaknya yang masih bayi meminta turun di daerah Cilandak. Dua tas besar membuat sang suami kerepotan.
Apa boleh buat, Jakarta tetaplah sebuah magnet. Termasuk bagi diriku.